HMI DAN KEVAKUMAN IDEOLOGI

2/19/2007

Oleh: Budi Gunawan S.
Ketua Badko HMI Jateng-DIY Bidang Eksternal2006-2008, Mahasiswa UMS

BAHAGIA HMI yang pada 5 Februari 2007 ini merayakan hari jadi yang ke-60. Usia yang tidak muda dan tidak pula tua untuk ukuran sebuah organisasi. Mencapai angka 60 adalah prestasi usia yang penuh pengalaman dan kematangan jati diri. Enam dekade tentu merupakan momentum penting untuk merefleksikan perjalanan HMI di tengah kritik pedas, suara sumbang, keluhan, bahkan gugatan dari luar. Sementara itu, ia juga tampak gagap dalam menghadapi arus deras perubahan, stagnan, dan tertawan permasalahan internal yang tidak kunjung usai.
Memahami jati diri HMI belumlah cukup ketika hanya melihat banyak alumninya yang terlibat kasus korupsi atau perilaku tak terpuji lain, anggotanya yang minim peran dalam gerakan mahasiswa, atau HMI hari ini yang sudah kurang diminati mahasiswa kebanyakan. Lebih dari itu, tak dapat dipungkiri bahwa sejarah organisasi ini sebagai track record memang telah mewatak menjadi pola perilaku objektif yang ternyata justru melahirkan banyak persoalan di belakang hari.
Sejarah republik sejak didirikan mengalami tiga fase perubahan yakni; orde lama, orde baru dan orde reformasi yang banyak diwarnai oleh gerakan mahasiswa. Terutama pada masa orde lama dan orde baru di mana HMI begitu piawai dalam memainkan peranannya.

Didirikan oleh Lafran Pane, Achmad Tirtosudiro dkk di Jogjakarta dua tahun setelah pekik kemerdekaan diproklamirkan, HMI memiliki dua tujuan utama yakni; (1) mempertahankan (kemerdekaan) NKRI dan (2) mengembangkan syiar islam. Sejak kelahirannya, organisasi mahasiswa tertua ini dihadapkan pada perjuangan melawan agresor asing yang berkeinginan untuk menjajah kembali tanah air. Abad 19 dan awal abad 20 pasca perang dunia kedua merupakan momen penting bagi tumbuh-kembangnya gerakan mahasiswa (pemuda) di Indonesia di bawah pengaruh pertarungan ideologi, perang-perang heroik di dalam maupun luar negeri. Pada tahun-tahun ini pula HMI menampilkan sosok organisasi heroik dengan watak tegas dalam menentukan garis ideologi perjuangannya.
Pergerakan konteks situasi Orde Lama kerap diwarnai konflik politik aliran dan ‘perang ideologi’ yang serba revolusioner, seraya tetap berpegang pada semangat anti-kolonialisme (Belanda) yang menjadi tren ketika itu. Memasuki masa demokrasi liberal-parlementer era Soekarno, HMI dan gerakan mahasiswa pada umumnya lalu mengambil bentuk afiliasi dengan partai politik segaris. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berafiliasi di bawah PNI. Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI. Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI. Sementara itu, HMI memilih Masyumi.

HMI dan Orde Baru
Persaingan politik aliran antarpartai menjelang pemilu pertama di tahun 1955 berdampak pada persaingan antarmahasiswa yang mengambil bentuk ideologis saling berhadap-hadapan antara yang ‘kiri’ dan ‘kanan’. HMI berada pada posisi kanan bersama PMKRI dan Germasos dengan isu utama antikomunis dan anti kediktatoran. Sedangkan CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim, dan anti-fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke kiri di bawah komando Panglima Besar Revolusi Paduka Jang Mulia (PJM) Bung Karno, kelompok kanan mendapati kekalahan yang bertubi-tubi hingga memasuki masa demokrasi terpimpin.
Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Badan Konstituante sebagai jawaban Bung Karno terhadap upaya parpol Islam yang ingin memasukkan kembali Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru. Selain itu, pemberontakan PRRI dan Permesta yang merongrong kekuasaan, dijawab Soekarno dengan membubarkan Masyumi dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Entah bagaimana kemampuan pimpinan PB HMI di masa itu sehingga HMI—yang nota bene merupakan bagian dari kelompok oposan—dapat selamat dari pembersihan PKI dan CGMI.
Padahal sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap kontrev (kontrarevolusi). Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, di mana kekuasan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut nasib gerakan mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno.
Kejatuhan Soekarno ini menjadi pancang sejarah pergeseran fase keindonesiaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Peristiwa ini memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force yang kemudian menjadi kategori politik penting terhadap kekuasaan, sekaligus memitoskan kebesaran mahasiswa angkatan ‘66 yang diarsiteki kader-kader HMI seperti Akbar Tandjung dan Mar’ie Muhammad.
Pada babak sejarah berikutnya, maka banyak ditemui tokoh HMI yang mengisi birokrasi kekuasaan. Generasi kedua HMI ini tidak lagi menampilkan sosok herois yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi; ‘HMI sebagai sumber insani pembangunan’. Dekade pertama kejatuhan Orde Lama merupakan masa ‘bulan madu’ gerakan mahasiswa dengan Orde Baru. Sedari awal, aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa. Tercatat dua kali mahasiswa bangkit melawan penguasa Orde Baru. Pertama, Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) pada 1974. Ketika itu, digelar aksi penolakan mahasiswa terhadap kapitalisme modal asing. Kedua, gerakan mahasiswa 1978 yang menolak pencalonan Soeharto kembali menjadi presiden.
Power tends to corrupt menjadi benar adanya ketika melihat hubungan harmonis antara HMI dan penguasa Orde Baru yang nyaris tak tergoyahkan, sehingga mengakibatkan penyakit krusial di tubuh organisasi dan melahirkan perpecahan. Sebagian kader HMI menyempal membentuk HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan monolitik penguasa. Puncaknya adalah pemberlakuan asas tunggal oleh Orde Baru yang ditentang oleh HMI-MPO.
Generasi HMI lain yang muncul di luar kekuasaan Orde Baru mengambil jalur intelektualisme sebagai gairah mewujudkan kontribusi HMI terhadap bangsa. Generasi intelektual HMI berijtihad atas kemandekan berpikir yang terjadi dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang pemikiran ini sudah tumbuh sejak tahun 1960an akhir hingga tahun 1980an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid.

Mencari Bentuk (Ideologi) Gerakan
Ideologi dalam pengertian luas bisa bermakna positif juga peyoratif. Ideologi berfungsi untuk melawan sekaligus melanggengkan status quo. Sejak didirikan, HMI menjadikan visi keislaman dan keindonesiaan sebagai tujuan inti organisasi. Sejarah menjelaskan bagaimana ideologi HMI itu beroperasi, direproduksi dan dipertahankan.
Suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Misi keislaman dan kebangsaan HMI, pada masa orde lama sejatinya ialah ideologi yang menyerang kolonialisme (penjajah) dan memusuhi komunisme. Ideologi ini kemudian berubah bentuk ketika direproduksi secara intelektual melalui isu-isu; keislaman, keindonesiaan, kemodernan dan sekularisasi yang menjadi tema aktual di era pembangunan. Kemunculan cendekiawan muslim bercorak moderat di masa itu lebih didorong pada upaya mendamaikan hubungan Negara dengan agama (islam) dalam rangka mempertahankan stabilitas ekonomi-politik orde baru. Bagaimanapun, pemikiran Cak Nur tentang ‘Islam Yes, Partai Islam No!’, sedikit-banyak menguntungkan Golkar sebagai partai penguasa. Karateristik HMI hari ini tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sosial-historis dan pengetahuan yang mengakumulasi dalam dirinya selama 60 tahun. Proses diskursif dialektis selama enam dekade memenangkan wacana keislaman yang berwatak modern-moderat-inklusif sebagai mainstream. Sedang watak keagamaan yang cenderung tradisional-radikal-eksklusif menjadi pihak yang kalah.
Tidak banyak yang dapat diceritakan mengenai peran HMI pasca Orde Baru, bahkan ketika gerakan mahasiswa ‘98 beramai-ramai merobohkan kediktatoran Suharto. Saat itu, peran HMI patut dipertanyakan. HMI berjuang (melawan diktatur) pada masa Orde Lama. HMI membangun (bersama diktator) pada fase Orde Baru. Akhirnya, sekarang, HMI tengah mencari bentuk di era reformasi. Bahagia HMI dan semoga semua aktivitas organisasinya diridhai oleh Allah Swt.